“Kita hanya butuh waktu”, jawabku
penuh dengan keyakinan
“tidak semudah itu. Aku sudah
mengusahakannya jauh lebih lama dengan segala cara. Menghadirkan sosok baru.
Tapi..”, dia tercekat tak bisa meneruskan kalimatnya
“percayalah, kita hanya butuh
waktu.”
Dia tak bisa menjawab apapun saat
ku bersikukuh untuk meyakinkannya. Bukankah kamu selalu mengatakan bahwa hidup
ini adalah proses? Proses selalu membutuhkan waktu, bukan? dan tak ada pilihan
lain kecuali kita menjalani prosesnya dan menikmati perih yang kita Cipta.
Berusaha menyembuhkannya sendiri-sendiri. Karena meminta saling menyembuhkan
hanya akan memintal benang semakin erat. Kita tahu bahwa semakin erat benang
terpintal, kita akan lebih sulit lagi melepaskannya.
“apakah waktu memiliki obatnya?”
dia menyodorkan pertanyaan yang sebenarnya dia jauh lebih berhak menjawab dan
dia tau jawabannya.
“bukan waktu yang memiliki obatnya,
tapi kita akan mampu mengobatinya sendiri dengan waktu yang kita punya.” Aku
menjawab dengan jelas dan yakin. Belum yakin sebenarnya tapi meyakinkan diri
sendiri. Karena keraguan pun muncul. Sama seperti dia. Tapi setiap luka
mempunyai kesempatan untuk sembuh. Dan setiap sakit ada obatnya. Kita hanya
perlu mencarinya, menemukannya.
Dia tertunduk menyerah. Sorot
matanya menyetujui pernyataanku. Detik itu juga kita kembali ke rumah
masing-masing tanpa kata pengantar untuk berpisah. Besok kita akan pergi masing-masing
untuk meraih mimpi. Aku harus dikirim ke pelosok jawa untuk mengabdi. dan dia,
dia pergi study abroad, seperti yang telah tertulis di pohon mimpi.
Kata perpisahan memang tak pernah
terucap. Entah itu artinya kita sama-sama masih berkeyakinan akan bertemu dan
bersama lagi. Atau justru memang kita tak pernah berani menghadapi kenyataan
bahwa kita tak pernah siap berpisah. Membawa sepotong hati ini terlalu berat
untukku. Jika aku bisa meminta, aku hanya ingin hatiku yang utuh. Bukan
sepotong hatiku dan sepotong hatimu.
6 februari 2015
(akan dibukukan)
0 komentar:
Posting Komentar